Waktu shalat Shubuh atau shalat Fajar adalah bahasan kita yang terakhir. Waktu shalat Shubuh ini diawali ketika terbit fajar shodiq dan berakhir ketika matahari terbit. Namun shalat Shubuh lebih afdhol dilakukan di awal waktu (lebih awal, lebih baik).
Waktu Shalat Shubuh (Shalat Fajar)
Sebagaimana disebutkan dalam matan Abi Syuja’, “Awal waktu shalat Shubuh adalah saat terbit fajar kedua (fajar shodiq). Akhir waktunya -yang disebut waktu ikhtiyar (pilihan)- adalah sampai isfaar. Akhir waktu jawaz (bolehnya) adalah sampai matahari terbit.”
Awal waktu shalat Fajar (shubuh) adalah mulai dari terbit fajar shadiq. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr berikut,
وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ
“Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq).” (HR. Muslim no. 612).
Fajar sendiri ada dua macam yaitu fajar shodiq dan fajar kadzib. Pancaran cahaya yang menjulang seperti ekor serigala dan setelah itu masih terlihat gelap, ini yang disebut fajar kadzib (fajar pertama). Sedangkan cahaya yang mendatar horizontal di ufuk, ini yang disebut fajar shodiq (fajar kedua). (Lihat bahasan di Kifayatul Akhyar, hal. 81 dan Al Iqna’, 1: 200).
Sedangkan akhir waktu shalat Shubuh, ada yang disebut waktu ikhtiyar. Waktu ikhtiyar adalah waktu akhir yang dipilih oleh Jibril ketika ia mengimami Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hari kedua. Di akhir hadits disebut, “Waktu shalat adalah antara dua waktu ini”, yaitu antara waktu pada hari pertama dan waktu kedua. Waktu akhir inilah yang disebut waktu ikhtiyar (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 81 dan Al Iqna’, 1: 201). Waktu ikhtiyar-nya adalah pada saat isfaar, yaitu ketika mulai terang (lihat Fathul Qodir, hal. 69 dan Al Iqna’, 1: 200). Dalil yang menunjukkan akhir waktu ikhtiyar adalah hadits tentang shalat Jibril yang mengimami Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pada hari kedua,
وَصَلَّى بِىَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ
“Kemudian ia shalat Shubuh bersamaku setelah itu waktu isfaar”
Adapun waktu jawaz atau bolehnya adalah sampai matahari terbit. Yang dimaksud terbit adalah muncul sebagian matahari. Hal ini berbeda dengan tenggelamnya matahari yang dipersyaratkan semuanya harus tenggelam (Lihat Al Iqna’, 1: 201). Waktu jawaz ini disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr,
صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
“Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq) selama matahari belum terbit”
Ulama Syafi’iyah membagi waktu Shubuh menjadi enam waktu:
(1) waktu fadhilah (utama), yaitu di awal waktu.
(2) waktu ikhtiyar (pilihan), yaitu sebagaimana waktu awal dan akhir yang dipraktekkan Jibril ketika menemani Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, waktunya adalah hingga waktu isfaar (mulai terang).
(3) waktu jawaz bi laa karohah (boleh dan tidak makruh), yaitu hingga muncul cahaya merah di ufuk (sebelum matahari terbit).
(4) waktu karohah (makruh), yaitu mulai muncul cahaya merah di ufuk hingga matahari terbit.
(5) waktu haram, yaitu di luar waktunya.
(6) waktu dhoruroh bagi orang yang udzur. (Lihat Al Iqna’, 1: 201)
Shalat Shubuh ini disunnahkan dilakukan di awal waktu. Di antara dalilnya adalah perkataan ‘Aisyah,
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلاَةَ ، لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Para wanita mukminah dahulu pernah menghadiri shalat Shubuh berjama’ah di belakang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan mengerudungi kepala dengan kain. Kemudian mereka kembali ke rumah masing-masing ketika shalat telah selesai. Mereka tidak dikenali seorang pun karena keadaan masih gelap (pagi buta).” (HR. Bukhari no. 578).
Hal di atas dikuatkan lagi dengan hadits berikut,
عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Kami pernah bersahur bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian kami berdiri untuk menegakkan shalat.” Aku (Anas) bertanya pada Zaid, “Berapa lama waktu antara makan sahur dan waktu shalat akan ditegakkan?” Zaid menjawab, “Sekitar (membaca) 50 ayat.” (HR. Muslim no. 1097). Jarak waktu antara selesai makan sahur dan masuknya waktu pelaksanaan shalat adalah sekitar membaca 50 ayat Qur’an, waktu seperti ini seperti lama waktu berwudhu. Ini menunjukkan bahwa shalat tersebut dilakukan di awal waktu Shubuh (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 249-250).
Demikian bahasan kami mengenai waktu-waktu shalat. Semoga dengan mengetahui hal ini kita dapat menunaikan shalat pada waktunya. Semoga Allah memudahkan kita pula untuk beramal sholih. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, Mesir.
Fathul Qorib Al Mujib fii Syarh Alfazhith Taqrib, Syamsuddin Muhammad bin Qosim bin Muhammad Al Ghozziy, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, 1425 H.
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husainniy Al Hushiniy Al Dimasyqiy Asy Syafi’iy, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, Mesir.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 20 Dzulhijjah 1433 H